Pada jaman itulah di Bali Dwipa terdapat dua buah perguruan besar yaitu Perguruan Matahari atau Paguron Surya dan Perguruan Bulan Sabit atau Paguron Arda Candra. Tapi entah kenapa kedua perguruan besar tersebut terjadi dendam turun-temurun yang berakhir dengan pertarungan massal di Gunung Batur selama tujuh hari tujuh malam, di antara kedua Perguruan Besar tersebut yang mengakibatkan musnahnya ke dua Perguruan tersebut.
Walaupun demikian bukan berarti perguruan silat di masa lampau itu musnah sama sekali, hal ini disebabkan karena setelah pertarungan massal ke dua Perguruan tersebut yang menyebabkan para Yogi dan Yogini dari kedua Perguruan besar tersebut hampir semuanya meninggal dunia, ternyata masih ada seorang siswa dari Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang masih hidup walaupun dengan luka yang teramat parah. Perlu diketahui bahwa Perguruan Bulan Sabit memiliki 12 cabang yang menguasai Ilmu yang berbeda satu sama lainnya dan Seruling Dewata adalah salah satu dari 12 cabang Bulan Sabit.
Seorang siswa dari perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata yang masih hidup itu bernama I Goplo dan nantinya dikenal dengan sebutan Ki Suling (Ki adalah sebutan kehormatan untuk seorang Maha Guru). I Goplo atau Ki Suling dengan Luka yang teramat parah kembali ke pertapaannya yang bernama Pertapaan Gunung Bulan (Candra Parwata), di puncak Gunung Batukaru paling barat (salah satu dari 7 puncak Gunung Batukaru). Di pertapaan Gunung Bulan inilah Ki Suling memendam diri selama puluhan tahun untuk mengobati dirinya dan memperdalam ilmu silatnya, dan selama itu pula di Bali Dwipa, dunia persilatan mengalami kehampaan (masa suram).
Kemudian baru pada abad ke V caka datanglah ke Bali Dwipa seorang pendeta Budha ahli silat yang masih muda dari Jambu Dwipa yang bernama Ki Byanlu Syamar atau Ki Budhi Darma, dan di Bali dikenal dengan sebutan Biksu Dharmo, Ki Byanlu Syamar menguasai Kundalini. Ilmu Kundalini Saktinya sangat sempurna yang di pelajarinya selama 40 tahun dari seorang Maha Guru di Jambu Dwipa yang bernama Swami Prajnatara. Di Bali Dwipa, Ki Budhi Dharma bertemu dengan Ki Suling yang ahli Filsafat Seruling Dewata, juga ahli Ilmu Silat dan juga ahli Pengobatan. Keduanya sempat berdikusi dan dari hasil diskusi tersebut Budhi Darma merasa tunduk kepada kemampuan Ki Suling dalam ilmu Silat, Ilmu Pengobatan dan terutama Ilmu Filsafat sehingga akhirnya Budhi Darma sendiri akhirnya berguru kepada Ki Suling.
Ki Budhi Dharma berhasil menguasai ke 72 macam ilmu silat dari Perguruan Bulan Sabit Cabang Seruling Dewata, serta mendirikan Perguruan Silat Baru di Bali Dwipa pada abad V Caka, tahun ke 63 (641 Masehi), bulan ke 11 hari ke 26 dengan nama Perguruan Seruling Dewata atau Paiketan Paguron Suling Dewata, dengan Ki Budhi Dharma sebagai Ketua Angkatan I, dibawah Ki Budhi Dharma, Perguruan Seruling Dewata semakin berkembang selama berabad-abad, dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke VII caka, yakni di kala hidupnya Ketua Angkatan III Perguruan Seruling Dewata “Ki Hanuraga”, yang terkenal dengan julukannya “Ksatria Suling Gading”. Pada saat ketua Angkatan III inilah ilmu silat Perguruan Seruling Dewata dibukukan dalam bentuk syair menjadi 72 kitab Pusaka Ilmu Silat . Ke 72 kitab pusaka ini nantinya diwariskan serta diterjemahkan berkali-kali dalam setiap pergantian generasi ke dalam bahasa yang baru.